LEBIH konsentrasi dan penyerapan mata
pelajaran bisa maksimal. Itulah beberapa alasan orangtua memilih home schoolinguntuk pendidikan buah hatinya.
Benarkah alasan tersebut? Tidak semua
orangtua sepakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah umum.
Banyak alasan, salah satunya
adalah kurang bermutunya pendidikan di sekolah-sekolah umum, sehingga terlalu
banyak murid yang ditangani guru dalam satu ruang kelas. Ujungnya, penyerapan
pelajaran pun tak maksimal.
Pendapat itu memang tidak berlebihan,
karena memang di sekolah umum, satu orang guru bisa mengajar 20 bahkan sampai
30 anak dalam satu ruang kelas. Sedangkan diyakini, bahwa kemampuan
masing-masing anak dalam menangkap mata pelajaran yang diberikan berbeda-beda.
Home schooling pun lantas
dilirik sebagai alternatifnya. Tidak seperti di sekolah umum, home schooling
(sekolah di rumah) ini memiliki konsep yang biasanya satu guru akan menghadapi
satu atau dua murid saja. Selain tentu saja lebih bisa ditertibkan, dengan home
schooling, anak bisa lebih berkonsentrasi dalam menangkap pelajaran. Mutu mata
pelajaran yang diberikan, juga bisa dipilih, sesuai dengan apa yang dibutuhkan
anak saat itu.
Walaupun bisa menjaga kualitas
pendidikan atau pengajaran kepada anak-anak yang belajar di rumah, bukan tidak
berarti pendidikan jenis ini tidak mengalami kekurangan. Salah satu kekurangan
yang paling menonjol dari home schooling adalah anak tidak bisa bersosialisasi
dengan teman-teman sebayanya.
Kasus seperti inilah yang
kemudian menjadi perdebatan hangat di kalangan pengajar serta psikolog anak.
Sebab, pendidikan yang berkualitas tidak akan bermanfaat jika anak tidak bisa
bersosialisasi dengan teman-teman seusianya.
Untuk mengatasi hal itu, biasanya
anak-anak home schooling melakukan aktivitas luar ruang, seperti olahraga,
program kepanduan, bakti sosial, atau bahkan kerja sambilan, jika usia mereka
sudah cukup remaja.
Praktisi home schooling biasanya
mengandalkan dukungan kelompok untuk mendukung dan mengadakan kontak personal
dengan keluarga-keluarga yang berpikiran sama tentang home schooling ini. Larry
Shyers dari Universitas Florida menulis disertasi doktoral yang mempertanyakan
perkembangan sosial anak-anak yang berada di home schooling.
Dalam penelitiannya, anak-anak umur
8?10 tahun direkam dengan video saat bermain. Perilaku mereka diobservasi
konselor-konselor terlatih yang tidak dikonfirmasi mana anak-anak yang
bersekolah biasa dan mana yang di home schooling. Hasilnya ternyata sangat mengejutkan.
Penelitian tersebut menyatakan tidak ada perbedaan besar antara kedua kelompok
tersebut tentang konsep diri,walaupun anak tidak bersekolah di sekolah umum.
Tapi yang jelas, rekaman tersebut
menunjukkan bahwa anak-anak yang belajar di rumah atau melakukan home schooling
dengan orangtuanya secara konsisten tidak banyak bermasalah dengan bakat,
kemampuan, dan cara bersosialisasi.
Susan Nelson, seorang pengembang
kurikulum dan konsultan home schooling dari Amerika, menyatakan bahwa orangtua
akan merasakan tugas-tugas mereka lebih sederhana jika mereka menentukan tujuan
utama mengapa mereka menjadi pendidik-pendidik di rumah, termasuk untuk
memfasilitasi anak dengan pengalaman-pengalaman belajar yang menarik, atau
untuk mempersiapkan anak untuk memasuki sekolah formal.
Seperti pendidikan formal lainnya,
home schooling juga bisa mengajarkan berbagai jenis mata pelajaran pada
anak-anak, misalnya pada pagi hari anak dapat berlatih bahasa Inggris, bermain
piano, dan menulis. Tiap sore anak bisa diajarkan membaca dengan cara pergi ke
perpustakaan atau bisa pula melakukan jelajah hutan atau mengamati alam.
"Tidak ada yang salah dari
pendidikan di rumah atau home schooling pada anak-anak jika dilakukan dengan
benar,? kata psikolog anak alumni Universitas Indonesia (UI), Dr Wiryawan.
Jika di Indonesia orang tua masih
sangat takut kalau anak-anaknya tidak mendapatkan ijazah resmi, sejumlah
universitas seperti Harvard dan Yale mengizinkan anak-anak home schooling untuk
kuliah dan belajar di kampus terkenal tersebut. Bahkan dilaporkan, bahwa
siswa-siswa home schooling memenangkan persaingan pendaftaran ke perguruan
tinggi favorit.
Tanpa transkrip akademik dari SMU
formal, pendaftar dapat mengumpulkan sampel atau portofolio kerja mereka, surat
rekomendasi dari orangtua, atau juga guru yang membantu.
Tercatat, 1.657 keluarga home
schooling menyatakan bahwa siswa home schooling ingin melanjutkan ke perguruan
tinggi: 69 persen responden memilih untuk ambil pendidikan lanjutan sekunder
yang formal. Bahkan dari datadata yang ada, siswa home schooling yang dites
selalu di atas rata-rata.
"Pola data siswa home schooling mirip siswa dari sekolah swasta favorit. Itu merupakan satu langkah maju bagi dunia pendidikan anak. Asal saja home schooling mereka benar-benar berkualitas," jelas dia.(Koran SI/Koran SI/nsa) http://bb.okezone.com
"Pola data siswa home schooling mirip siswa dari sekolah swasta favorit. Itu merupakan satu langkah maju bagi dunia pendidikan anak. Asal saja home schooling mereka benar-benar berkualitas," jelas dia.(Koran SI/Koran SI/nsa) http://bb.okezone.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar